Ketentuan dan Template Naskah Jurnal Psikologi Ulayat

Jurnal Psikologi Ulayat (JPU) berdiri di tahun 2012 dan terus melakukan pembenahan untuk menjadi lebih baik dan mampu menampilkan hasil-hasil penelitian psikologi, baik di bidang klinis, eksperiman, sosial, industri-organisasi, pendidikan maupun perkembangan. Penekanan utama JPU adalah bagaimana menampilkan wajah Indonesia dalam kerangka (kacamata) psikologi, sehingga memperkaya pemahaman kita semua tentang psikologi Indonesia.

Mulai 2015, JPU akan terbit dua kali dalam satu tahun yakni bulan Juni dan bulan Desember. Pengiriman naskah dialamatkan ke sekretariat@jurnalpsikologiulayat.com 

Silahkan mengunduh ketentuan dan tempate naskah JPU di tautan berikut: Ketentuan dan Template Penulisan JPU_Revisi Maret 2015

Terima kasih

Salam Sinergi!

Galeri Pertemuan Tim Editor JPU, 13 Maret 2015 di Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan, Jakarta

IMG-20150313-WA0003

Berbagi pengalaman tugas ketua editor Jurnal Psikologi Ulayat periode 2012-2014 oleh Eko A.Meinarno

IMG-20150313-WA0004

Pemaparan alur kerja ketua editor Jurnal Psikologi Ulayat dan sekretariat JPU saat periode 2012-2014

IMG-20150314-WA0002

Duduk: Karel Karsten (Univ.Pelita Harapan), Yonathan Aditya (Univ.Pelita Harapan), Ardiningtiyas Pitaloka (Univ.Yarsi), Sri (Univ.Tama Jagakarsa), Aisyah (Univ.Pancasila). Berdiri: Eko A.Meinarno (Ketua Editor JPU 2012-2014), Idhamsyah Eka Putra (Editor JPU 2012-2014), Hanrezi Dhania (Univ.Tama Jagakarsa), Veronica (Univ.Pembangunan Jaya)

WP_20150313_001

Pemaparan proses dan pengalaman editor JPU periode 2012-2014 oleh Idhamsyah Eka Putra

WP_20150313_002

Pemaparan alur proses editing ideal -perbandingan dengan jurnal internasional

WP_20150313_003

Diskusi proses review dan editing antara tim editor JPU

Galeri Pertemuan KPIN 06 Maret 2015 di Fakultas Psikologi Univ.Tama Jagakarsa, Jakarta

Pertemuan KPIN 06 Maret 2015

Pertemuan KPIN 06 Maret 2015

WP_20150306_002

Rencana penerbitan Jurnal Psikologi Ulayat Juni dan Desember 2015 oleh PIC Jurnal Yonathan

WP_20150306_003

Pemaparan rencana pembuatan modul dan buku oleh PIC Modul-Buku Eko A.Meinarno

IMG_0086

Subhan (UHAMKA), Aisyah & Vinaya (Univ.Pancasila), Veronica (Univ.Pembangunan Jaya), Eko, Sarlito (Univ.YAI), Rosida (Univ.Kristen Maranatha Bandung), Karel & Yonathan (Univ.Pelita Harapan), Ardiningtiyas (Univ.Yarsi), Budi S.(Univ.Bhayangkara), Hanrezi & Sri (Univ.Tama Jagakarsa), Hapsarini (Univ.Borobudur)

IMAN PERKAWINAN

Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

Iman artinya percaya. Istilah ini khusus digunakan untuk agama dan Tuhan. Jadi dalam agama kita mengatakan bahwa kita beriman kepada Tuhan, dan karena itu kita bersungguh-sungguh (berkomitmen) melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya serta menghindari apa yang dilarang-Nya. Tetapi kita tidak mengatakan beriman kepada isteri, walaupun kita sungguh-sungguh percaya kepadanya dan karena itu bersungguh-sungguh (berkomitmen) pula melaksanakan apa yang diperintahkannya serta menghindari apa yang dilarangnya.

Saya, misalnya, minum beberapa butir obat dan segelas jamu yang disiapkan isteri saya tiap pagi dan sore. Saya tidak tahu obat-obat apa itu, karena setiap kali ke dokter, dia ikut masuk ke ruang periksa dan dialah yang menghafal obat-obatan yang diresepkan oleh dokter dan meraciknya tiap hari untuk saya, dan dengan patuh saya meminumnya, karena saya percaya kepada isteri saya. Tetapi saya tidak bisa mengatakan bahwa saya beriman kepada isteri saya. Walaupun begitu iman dan percaya pada hakikatnya tetap sinonim.

***

Pada hari Senin tanggal 3 Maret 2015 yang lalu di UI berlangsung sebuah ujian Doktor. Promovendus (calon doktor) yang mempertahankan disertasinya hari itu adalah Dr. Melok Roro Kinanti, seorang psikolog, yang meneliti tentang perkawinan di desa Dadap, Indramayu, Jawa Barat, Desa yang berlokasi di Pantura itu terkenal sebagai desa produsen TKW (Tenaga Kerja Wanita), dan pekerjaan utama penduduknya adalah nelayan dan petani.

Penelitian Dr Melok adalah mengenai faktor-faktor yang menyebakan keberhasilan atau kegagalan perkawinan dalam konteks suami-isteri yang harus berpisah selama bertahun-tahun karena isteri harus bekerja di luar negeri. Untuk itu peneliti telah mewawancarai 11 wanita mantan TKW, enam di antaranya sudah bercerai, sedangkan yang lima masih mempertahankan perkawinannya.  Dari enam yang sudah bercerai, empat disebabkan karena suami berselingkuh selama isteri bekerja di luar negeri, sedangkan yang dua bercerai karena faktor lain, termasuk karena faktor mertua. Sementara itu yang tidak bercerai disebabkan adanya komitmen perkawinan yang diupayakan oleh pasangan yang bersangkutan di tengah banyaknya faktor lingkungan yang sangat mungkin mengganggu pernikahan. Temuan ini mengukuhkan pendapat sebagian psikolog (termasuk saya sendiri) bahwa dengan kepercayaan yang kuat kepada janji perkawinan (akad nikah), maka kemungkinan terjadinya perceraian bisa diperkecil.  Kepercayaan kepada akad-nikah ini bisa saya sebutkan sebagai beriman kepada perkawinan karena ada unsur agama, dan juga ada Tuhan di dalamnya.

***

Di kelas psikologi klinis, di Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia, Jakarta, di mana saya mengajar, pernah saya tanyakan kepada mashasiswa, yang semuanya calon S2 Psikologi Klinis, dan sudah bergelar S1 Psikologi, apakah mereka percaya bahwa keberhasilan perkawinan itu lebih terjamin jika ada faktor yang dipercaya oleh adat Jawa, yaitu “bibit, bebet dan bobot” (keturunan, kelas ekonomi dan tingkat pendidikan) yang baik? Hampir semuanya menjawab, “Percaya!”.

Penasaran, saya masih tanya mereka lagi, apakah mereka percaya bahwa dalam perkawinan, yang paling penting adalah faktor seiman (pasangan suami dan isteri mempunya kepercayaan agama yang sama). Jawabnya lagi-lagi, “Percaya!”,

Tetapi dalam kenyataan yang sebenarnya, situasinya tidak seperti itu. Tengok saja di sekitar anda, teman-teman, kenalan atau kerabat anda, atau mungkin juga termasuk diri dan keluarga anda sendiri. Berapa banyak yang mengalami perceraian, padahal mereka sudah pas betul kalau soal bibit, bebet dan bobot, bahkan juga iman agama. Kedua pihak, yang suami maupun yang isteri sama-sama ganteng dan cantik, berasal dari keluarga-keluarga yang sama-sama terpandang, berada dan berintegritas tinggi, dan juga sudah umroh, atau bahkan berhaji bersama. Pokoknya pasangan yang sangat ideal. Masuk infotainment sudah beberapa kali untuk dijadikan teladan oleh kaum pasangan muda lainnya. Tetapi pasangan ini tiba-tiba diberitakan (dalam infotainment juga) sudah menghadap pengadilan negeri atau pengadilan agama untuk minta bercerai.

Padahal beberapa pekan yang lalu, seorang seniman musik besar, Rinto Harahap yang kebetulan Kristen, meninggal dunia  dengan tenang, serelah menikah 42 tahun, tanpa cela, dengan isterinya yang muslim. Anak-anak mereka pun menjadi dewasa tanpa ada masalah hingar-bingar yang memalukan keluarga (setidaknya yang diketahui masyarakat). Tentu banyak yang protes pada apa yang saya sampaikan ini. Tetapi itulah faktanya, dan saya sedang bicara tentang perkawinan di sini, di dunia ini, bukan tentang apa yang akan terjadi kelak di akhirat.

Pertanyaan kita sekarang, sebagai orang kebanyakan yang masih mendambakan perkawinan yang hanya sekali seumur hidup adalah mengapa perkawinan Rinto Harahap dan para TKW di desa Dadap bisa bertahan, sementara banyak pasangan lainnya tidak? Perkawinan Rinto bertahan, walaupun beda agama, perkawinan sebagian TKW bertahan walaupun hidup verpisah selama beberapa tahun.

Menurut istilah Dr Melok, yang menggunakan teori Bioekologi dari psikolog Brofenbrenner, penyebab bertahannya perkawinan adalah karena adanya proximal processes yang optimal, yang dalam bahasa Indonesia yang sederhana, bisa diartikan sebagai komitmen untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai rintangan yang tujuannya adalah untuk mempertahankan perkawianan itu sendiri.

***

Seperti halnya dengan setiap janji,  janji perkawinan harus dipercaya, dan dilaksanakan dengan taat sampai kepada titik takwa (pokoknya perkawinanku nomor satu). Tentu saja dalam perkawinan tidak digunakan istilah takwa seperti di dalam agama. Karena itulah ada istilah proses proksimal atau komitmen terhadap perkawinan. Yang penting, kedua pihak yang terlibat perkawinan harus sama-sama punya komitmen yang besar terhadap janji perkawinannya sendiri untuk mempertahankan perkawinan. Itulah temuan dari disertasi Dr. Melok Roro Kinanti.

**Artikel ini telah dimuat di KORAN SINDO, 8 Maret 2015

Langkah-langkah Menuju Terorisme: Masalah Sosial dan Masalah Hidup

Oleh: Idhamsyah Eka Putra

Aksi teror dengan membunuh warga sipil atau non-combatant merupakan aksi yang telah lama muncul. Di Rusia misalnya, pendiri kelompok teroris yang didirikan Sergey Nechayev muncul pada tahun 1869. Kelompok teroris lain seperti IRA (Irish Repubilcan Army) berdiri sejak tahun 1913 di Irlandia dan masih eksis sampai saat ini.

Kata teror (ing: terror) itu sendiri sebenarnya berasal dari kata latin Terrere yang berarti menakuti. Istilah Terrere ini telah muncul di jaman Romawi. Penggambaran tersebut menjelaskan bahwa terorisme bukanlah suatu phenomena yang baru muncul pada dekade-dekade belakangan ini.
Walaupun terorisme telah lama muncul, tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini isu mengenai terorisme merupakan isue yang paling hangat dibahas di dalam pembicaaraan keamaanan nasional dan keamanan global (Sutalan, 2007).

Isu terorisme ini menjadi suatu hal paling disorot setelah peristiwa runtuhnya gedung kembar WTC pada 11 september 2001 dan reaksi Bush, presiden Amerika waktu itu untuk berperang melawan terorisme. Setelah kejadian bom Bali tahun 2002, Asia Tenggara ditetapkan sebagai “second front” dalam melawan
terorisme.

Selain itu, hal lain yang perlu diketahui bahwa terorisme tidak muncul hanya di Amerika atau di Asia Tenggara tetapi terorisme muncul di berbagai benua dan negara. Kemunculannya ini tidak spesifik pada negara miskin tetapi juga muncul di negara kaya, negara otoriter ataupun demokrasi, di negara maju atau tertinggal. Fakta ini tentu saja menjelaskna bahwa betapa terorisme muncul menembus batas-batas ideologi, kondisi sosial, dan agama.

Menyimak fenomena yang muncul menembus batas ini mengantar munculnya beberapa pertanyaan seperti mengapa perbuatan keji dan aksi-aksi teror ini muncul dan meluas tidak mengenai batas negara, ras, dan etnik? Apa yang menyebabkan seseorang berani berbuat keji? Apa tujuan mereka melakukan aksi teror tersebut? Mengapa aksi-aksi yang bersifat tidak manusiawi ini terus saja muncul dan bahkan kian meningkat?
———–

Terorisme sebagai sebuah ideologi yang dimiliki individu atau kelompok yang menghalalkan melakukan kekerasan, ancaman, dan bahkan pembunuhan pada warga sipil sebagai upaya untuk menggapai tujuan yang diinginkan (Horgan, 2005; Post, 2007) merupakan suatu fenomena yang tidak muncul dari ruang kosong dan tanpa proses. Kemunculan terorisme ini dapat dipastikan berbeda dengan pelaku-pelaku kriminal biasa seperti perampokan, penculikan, atau pembunuhan. Kriminal biasa cenderung melakukan aksi tindakan kekerasan dan atau pembunuan bukanlah dilakukan untuk mencapai suatu pencapaian politik tertentu tetapi untuk kepuasan pribadi tanpa ada upaya merubah kondisi sosial suatu masyarakat atau negara.

Ervin Staub, psikolog yang telah memberikan dedikasinya selama lebih dari 20 tahun untuk mengungkapkan dasar-dasar orang berbuat sesuatu yang tidak manusiawi seperti genosida, pembunuhan massal, dan terorisme menjelaskan bahwa hal yang paling dasar mengenai kemunculan tindakan tidak manusiawi dikarenakan adanya masalah kondisi hidup yang sangat sulit (Staub, 1999, 2003). Masalah ini bisa saja berupa masalah ekonomi, politik, konflik, perubahan yang cepat, dan hal-hal yang menyebabkan orang menjadi begitu tertekan dan frustasi dalam menangani hal tersebut.

Menurut Staub (1999), kondisi hidup yang diliputi masalah tersebut membuat individu menjadi merasa helpless yang kemudian membuat mereka akhirnya lari ke dalam kelompok dan membentuk rasa kebersamaan serta kohesivitas sebagai orang yang sama-sama memiliki penderitaan lalu berupaya menyelesaikan masalah hidup tersebut secara bersama. Di tengah kelompok mereka akan merasa lebih kuat dan berani untuk bersama-sama menyelesaikan suatu masalah yang pelik.

Masalah hidup yang muncul ini adalah pemicu atau sebab yang sangat dasar sekali di mana sebagian besar orang yang mengalaminya tidak berujung memiliki dan menyetujui paham terorisme (lihat Moghaddam, 2006). Orang yang menjadi rentan dan masuk ke dalam kelompok teroris adalah mereka yang memiliki anggapan bahwa masalah sosial ini merupakan kesalahan dari sistem atau kelompok lain, dan mereka memiliki solusi terhadap permasahan hidup tersebut.

Mengenai dasar-dasar masalah hidup yang akan memicu munculnya terorisme, karakteristik masalah teserbut tidaklah khas misalnya hanya unik muncul pada kelompok teroris Islam saja tetapi masalah sosial ini dapat muncul pada semua kelompok teroris. Masalah sosial atau masalah hidup ini merupakan masalah dasar yang dianggap sebagai suatu masalah yang perlu diselesaikan dengan segera.

Terorisme dianggap diterima dan dijadikan sebagai salah satu strategi, ketika cara lain dianggap tidak efektif dan tidak bisa menyelesaikan masalah. Seorang Komunis, akan mencari dasar penyelesaian masalah sosial tersebut melalui pola pikir dan dasar-dasar komunis. Sebaliknya seorang religius akan berupaya mencari penyelasaian masalah dengan berdasarkan penjelasan-penjelasan yang tidak keluar dari koridor agama. Sebagai contoh misalnya Ali Imron, salah satu otak pengeboman bom Bali 1 tahun 2002, Dia di dalam bukunya “Ali Imron Sang Pengebom” (2007) menjelaskan bahwa kondisi yang kacau di Indonesia seperti kejahatan, pelacuran, dan kemiskinan adalah salah-satu alasan baginya untuk melakukan aksi pengeboman.

Alasan lain yang juga ditemui dari pelaku-pelaku teror di Indonesia menjelaskan bahwa kekerasan atau konflik yang terjadi di Ambon dan Poso, di mana mereka memandang banyaknya umat Muslim yang menjadi korban juga ikut mendorong terjadinya aksi-aksi pengeboman dan teror lainnya seperti pembunuhan. Penjelasan ini tidaklah berarti mengemukakan penggambaran bahwa dasar sebab dan proses munculnya terorisme itu sama.
Setiap kelompok teroris memiliki keunikan, kekhasannya, dan sisi histroris tersendiri kenapa mereka itu dapat muncul.

Pada dasarnya, terrosime itu sangatlah bersifat kontekstual. Di Indonesia sendiri, ada hal-hal umum yang dimiliki oleh sebagian besar permasalahan yang menyebabkan munculnya teroris di seluruh dunia tetapi juga ada hal-hal kusus atau partikular yang hanya terjadi pada konteks sosial Indonesia. Khususnya kepada kelompok teroris yang membawa bendera agama, selain konteks, apa yang terjadi pada rekan penganut seagamanya di negara lain seperti misal kekerasan di Timur Tengah juga dapat memicu terjadinya aksi teror di Indonesia.

Referensi

Bar-Tal, D., & Teichman, Y. (2005). Stereotypes and prejudice in conflict: Representations of Arabs in Israeli Jewish society. UK: Cambridge University Press.

Horgan, J. (2005). The psychology of terrorism. London and New York: Routledge.

Imron, A. (2007). Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta: Penerbit Republika.

Moghaddam, F. M. (2006). From the terrorist’ point of view: What they experience and why they come to destroy. London: Praeger International Security.

Post, J. M. (2007). The Mind of Terrorism: The psychology of terrorism from the IRA to al-qaeda. Palgrave Macmillan.

Staub, E. (1999). The roots of evil: Social conditions, culture, personality, and basic human needs. Personality and Social Psychology Review , 3, 179-94.

Staub, E. (2003). Understanding and responding to group violence: genocide, mass killing, terrorism. In A. J. Marsella, & F. Moghaddam (Eds.), International terrorism and terrorists: Psychosocial perspectives. Washington D.C.: American Psychological Association.

Sutalan, Z. (2007). The causes of terrorism. NATO Advanced Training Course on the Organizational and Psychological Profile of Terrorism. Ankara: IOS Press.